Orang yang bepergian untuk berjudi
lagi kehabisan uang dan kelaparan dan kemudian ia makan daging babi. Maka ia
tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rusakhsah, tetapi tetap berdosa
dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian
dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk Kasbu Al-Halal (usaha yang
halal) kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali
yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
Thursday, November 20, 2014
Wednesday, September 3, 2014
Ushul Fiqh
Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh.
Pengetahuan
Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi
dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun caar-cara
itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya
sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para
Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum.
Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah
kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.
Menurut
Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah,
suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan
dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam
pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi
sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil
Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat
diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang
ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan
mempergunakan dalil.
Yang
menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah
(dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain
dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu
dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan
mempergunakan masing-masing dalil itu.
Topik-topik dan ruang lingkup
yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi
(wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani',
'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum
fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau
tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan
sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum
'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif
padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini
meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi
tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut
awarid samawiyah.
e. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash,
takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas,
muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan
rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat
mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an,
As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi,
al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus
syari'ah/ususus syari'ah.
h. Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat,
masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath,
ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah
ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Sesuatu
yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan
ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.
Dalam
pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu
pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul
lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan
ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak
akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.
Ushul
Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan
syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui
bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga
dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan
untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau
penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam
yang bersifat universal itu.
Dengan Usul Fiqh :
- Ilmu
Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat
manusia.
- Statis
dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
- Orang
dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia
pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia
sepanjang zaman.
- Sekurang-kurangnya,
orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh
seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka
gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa
atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka
lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan
hukumnya.
Dengan
demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal
menjadiMujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang
yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan
demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang
penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk
dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.
Melihat
demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua
perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.
Ilmu Fiqh
(Ar:
al-figh = paham yang mendalam). Salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang
secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan
manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan
Penciptanya.
Ada
beberapa definisi fiqh yang dikemukakan ulama fiqh sesuai dengan perkembangan
arti fiqh itu sendiri. Misalnya, Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai
pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Definisi ini meliputi semua
aspek kehidupan, yaituaqidah, syariat dan akhlak. Fiqh di zamannya dan di zaman
sebelumnya masih dipahami secara luas, mencakup bidang ibadah,
muamalahdanakhlak. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan pembidangan
ilmu yang semakin tegas, ulama ushul fiqh mendefinisikan fiqh sebagai ilmu
tentang hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang
terperinci. Definisi tersebut dikemukakan oleh Imam al-Amidi, dan merupakan
definisi fiqh yang populer hingga sekarang.
Ulama
usul fiqh menguraikan kandungan definisi ini sebagai berikut:
1. Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan
kaidah dan prinsip tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha
menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab,
istislah, dan sadd az-Zari'ah (az-Zari'ah);
2. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar'iyyah, yaitu
Kalamullah/Kitabullah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam
bentuk perintah untuk berbuat, larangan, pilihan, maupun yang lainnya.
Karenanya, fiqh diambil dari sumber-sumber syariat, bukan dari akal atau
perasaan;
3. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar'iyyah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah. Atas dasar
itu, hukum aqidah dan akhlak tidak termasuk fiqh, karena fiqh adalah hukum
syara' yang bersifat praktis yang diperoleh dari prosesistidlal atau istinbath
(penyimpulan) dari sumber-sumber hukum yang benar; dan
4. Fiqh diperoleh melalui dalil yang tafsili (terperinci), yaitu
dari Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, qiyas, dan ijma' melalui proses istidlal,
istinbath, atau nahr (analisis). Yang dimaksudkan dengan dalil tafsili adalah
dalil yang menunjukkan suatu hukum tertentu. Misalnya, firman Allah SWT dalam
surah al-Baqarah (2) ayat 43: "..... dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat....."
Ayat ini disebut tafsili karena hanya menunjukkan hukum tertentu dari perbuatan
tertentu pula, yaitu shalat dan zakat adalah wajib hukumnya. Dengan demikian
menurut para ahli usul fiqh, hukum fiqh tersebut tidak terlepas dari an-Nusus
al-Muqaddasah (teks-teks suci). Karenanya, suatu hukum tidak dinamakan fiqh
apabila analisis untuk memperoleh hukum itu bukan melalui istidlal atau
istinbath kepada salah satu sumber syariat.
Berdasarkan
hal tersebut, menurut Fathi ad-Duraini (ahli fiqh dan usul fiqh dari Universitas
Damascus), fiqh merupakan suatu upaya memperoleh hukum syara' melalui kaidah
dan metode usul fiqh. Sedangkan istilah fiqh di kalangan fuqaha mengandung dua
pengertian, yaitu:
1. Memelihara hukum furu' (hukum keagamaan
yang tidak pokok) secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya; dan
2. Materi hukum itu sendiri, baik yang
bersifat qath'i (pasti) maupun yang bersifatdzanni (relatif) (Qath'i dan
Zanni).
Menurut
Mustafa Ahmad az-Zarqa (ahli fiqh dari Yordania), fiqh meliputi:
1. Ilmu tentang hukum, termasuk usul fiqh;
dan
2. Kumpulan hukum furu'.
Subscribe to:
Posts (Atom)